Minggu, 18 Desember 2011

PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF


PEMBELAJARAN KOOPERATIF1

Amir Mahmud2

I.    Pendahuluan
                   
               Pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nampak dari upaya pembaharuan serta penyempurnaan kurikulum yang telah dilaksanakan. Pada hakekatnya tujuan pembaharuan kurikulum tersebut adalah untuk menjawab masalah-masalah pendidikan yang timbul pada masa sekarang maupun masa yang akan datang.
               Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat dan pemerintah.
            Penerapan model pembelajaran kooperatif sangat langka ditemukan di lapangan. Masih banyak guru mengajar dengan metode tradisional. Pada proses pembelajaran, guru hanya mengajarkan cara-cara bagaimana menyelesaikan soal-soal tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menemukan sendiri bagaimana mendapatkan cara itu. Dalam pembelajaran tradisional, guru cenderung hanya memindahkan pengetahuan yang dimiliki ke dalam pikiran siswa. Siswa hanya menunggu dan menyerap apa yang diberikan guru. Hal ini menunjukkan bahwa peran guru dalam pembelajaran tradisional sangat mendominasi siswa, keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran ini sangat kurang.
               Kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal karena siswa tidak mengalami pembelajaran yang bermakna., sebab guru cenderung mengajarkannya di kelas hanya dengan metode ceramah. Siswa tidak diberikan kesempatan untuk mencoba  menemukan sendiri dengan cara mendiskusikan dengan teman sekelasnya. Keadaan ini diperparah dengan kebiasaan guru yang melanjutkan materi pelajaran sementara siswa belum memahami betul materi yang diterimanya. Secara umum guru enggan untuk mencoba menerapkan model pembelajaran lain untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang lebih baik. Sehingga perlu adanya perhatian dari semua pihak dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa. Salah satu faktor dalam upaya tersebut adalah peran guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran yang dapat menentukan keberhasilan suatu pembelajaran.
               Pada metode pembelajaran  konvensional, guru cenderung hanya mentransfer pengetahuan matematika yang dimiliki  ke dalam pikiran siswa, siswa hanya menunggu dan menyerap apa yang diberikan guru. Hal ini menunjukkan bahwa peran guru dalam kegiatan pembelajaran konvensional sangat mendominasi, keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran ini sangat kurang atau pasif. Guru dipandang berfungsi sebagai sumber utama pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam pembelajaran perlu adanya perubahan secara bertahap dari pembelajaran yang berpusat pada guru ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan memperhatikan aktivitas siswa, interaksi sosial  dan konstruk pengetahuan.
----------------------------
         1Disampaikan pada IHT KTSP 2006 di SMP Negeri 1 Majenang Cilacap pada Jum’at, 15 Juli 2011
      2Alumnus Program Studi S2 Pendidikan Matematika UNS, Guru Matematika pada SMP Negeri 1 Majenang, Dosen Statistika pada STAIS Majenang Cilacap
Dalam pembelajaran ini guru tidak lagi dominan, namun siswalah yang aktif untuk memecahkan masalah maupun mengkonstruksi pengetahuan baik secara kelompok maupun individu.

II.Metode Mengajar

                           Metodologi mengajar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktifitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pembelajaran tercapai. Agar tujuan pembelajaran tercapai sesuai dengan yang telah dirumuskan oleh pendidik, maka perlu mengetahui, mempelajari beberapa metode mengajar, serta dipraktekkan pada saat mengajar(Martiningsih 2007:1, “Macam macam Metode Mengajar”.http://www.martiningsih.online.wordpress.com. Diakses, 17 september 2009)
                          Metodologi mengajar banyak ragamnya. Kita sebagai pendidik tentu harus memiliki metode mengajar yang beraneka ragam, agar dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan hanya satu metode saja. Variasi metode yang digunakan disesuaikan dengan tipe belajar siswa, situasi dan kondisi.
                    Metode mengajar erat hubungannya dengan tipe belajar peserta didik, karena dalam proses belajar mengajar yang baik adalah apabila terjadi interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Untuk itu, pendidik harus dapat menciptakan suasana yang nyaman, membangkitkan semangat belajar, menggairahkan dan membuat siswa antusias untuk belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai (Masnur Muslich 2007 : 208).

III.Belajar dan Prestasi Belajar
                                   
Belajar adalah sebuah proses untuk memperoleh/ mendapatkan pengetahuan, memiliki keterampilan, dan mempunyai sifat/sikap perilaku yang positif. Indikasi seorang dikatakan telah belajar apabila terjadi perubahan tingkah laku, dikandung maksud pengetahuannya menjadi bertambah, dia lebih terampil dan mempunyai sikap yang lebih baik dibanding sebelum mengalami proses belajar. Ketercapaian ranah kognitif, psikomotor dan afektif yang diungkapkan diatas juga dipengaruhi faktor lingkungan yang menunjang dan memadai.
         Prestasi itu berupa perubahan perilaku pada individu di sekolah. Perubahan itu terjadi setelah individu yang bersangkutan mengalami proses belajar mengajar. Prestasi adalah buah cipta yang telah dicapai dalam suatu karya atau usaha yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang (WJS Poerwadarminta).
         Menurut I.L Pasaribu dan Simanjuntak (1980;261) menyatakan bahwa,”Prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang setelah ia mengikuti sesuatu tentang pendidikan tertentu, hal ini dapat ditentukan dengan memberikan tes hasil pendidikan”. Evaluasi belajar mengajar merupakan bagian integral dalam proses pendidikan . Karena itu harus dilakukan oleh setiap guru sebagai bagian dari tugasnya. Secara umum evaluasi dimaksudkan untuk melihat sejauh mana prestasi belajar siswa atau kemajuan belajar para siswa telah tercapai dalam program pendidikan yang telah dilaksanakan.
         Menurut Oemar Hamalik (1990:261) bahwa,”Untuk mengetahui prestasi belajar siswa maka guru mengadakan evaluasi. Fungsi dan tujuan evaluasi sebagai berikut:
a.    Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar para siswa. Angka-angka yang   diperoleh dicantumkan sebagai laporan  kepada orang tua.
b.   Untuk menempatkan para siswa ke dalam situasi belajar mengajar yang tepat dan serasi dengan tingkat kemampuan minat dan berbagai karakteristik yang dimiliki oleh setiap siswa.
c.    Untuk mengenal latar belakang siswa (psikologi, fisik, lingkungan) yang berguna untuk menentukan sebab-sebab kesulitan belajar para siswa. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan pendidikan guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.
d.   Sebagai umpan balik bagi guru yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan proses remedial  bagi para siswa.”
         Secara umum evaluasi dimaksudkan untuk melihat sejauh mana prestasi belajar siswa atau kemajuan belajar para siswa telah tercapai dalam program pendidikan yang telah dilaksanakan. Berhasil atau tidaknya kegiatan belajar mengajar banyak ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain: intelejensi, kemampuan yang dimiliki, minat dan motivasi serta faktor-faktor lainnya. Sedangkan faktor eksternal dibedakan menjadi tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.

IV. Komponen-Komponen dalam Perkembangan Strategi Kognitif yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

                   Perkembangan fungsi kognitif terdiri dari empat faktor masing-masing adalah; lingkungan fisik, kematangan, pengaruh sosial, dan proses pengaturan diri, yang disebut ekuilibrasi. Keterkaitan dengan lingkungan fisik mutlak terjadi karena interaksi antara individu dan dunia luar merupakan sumber pengetahuan baru. Namun hubungan dengan dunia fisik itu tidak cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali jika inteligensi individu dapat memanfaatkan pengalaman tersebut. Karena itu kematangan sistem syaraf menjadi penting karena memungkinkan anak memperoleh manfaat secara maksimum dari pengalaman fisik. Dengan kata lain, kematangan membuka kemungkinan untuk perkembangan , sedangkan kalau kurang hal itu akan membatasi secara luas prestasi kognitif.
                   Proses perkembangan kognitif menurut piaget, dipengaruhi oleh tiga proses dasar; asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi
a. Asilmilasi
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya Asimilasi terjadi ketika seseorang menggunakan skema yang mereka miliki untuk memahami dunianya.
b. Akomodasi
Akomodasi terjadi ketika seseorang harus merubah skema yang ada untuk merespon suatu situasi baru. Akomodasi membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
c. Ekuilibrasi
Ekuilibrasi adalah aksi mencari keseimbangan antara skema dan informasi kognitif dari lingkungan. Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif  seseorang. Dalam perkembangan intelek seseorang , diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi (Martinis Yamin;2008)

V. Paradigma Konstruktivistik

                        Paradigma konstruktivistik oleh Jean Piaget melandasi timbulnya strategi kognitif, disebut teori meta cognition. Meta cognition meliputi empat jenis keterampilan, yaitu:
a. Keterampilan Pemecahan Masalah (Problem Solving)
   Keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta-fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.
b.Keterampilan Pengambilan Keputusan (Decision Making)
   Keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk memilih  suatu keputusan yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada melalui pengumpulan informasi, perbandingan kebaikan dan kekurangan dari setiap alternatif, analisis informasi, dan pengambilan keputusan yang terbaik berdasarkan alasan-alasan yang rasional.
c. Keterampilan Berfikir Kritis (Critical Thinking)
   Keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk menganalisa argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan persepsi yang benar dan rasional, analisis asumsi dan bias dari argumen, dan interpretasi logis.
d.            Keterampilan Berfikir Kreatif (Creative Thinking)
   Keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk menghasilkan gagasan yang baru, konstruktif berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang rasional maupun persepsi, dan intuisi individu.

VI. Model Pembelajaran Kooperatif

               Pembelajaran kooperatif telah dikembangkan secara intensif melalui berbagai penelitian,tujuannya untuk meningkatkan kerjasama akademik antar siswa, membentuk hubungan positif, mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan akademik melalui aktivitas kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif terdapat saling ketergantungan positif di antara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas belajar berpusat pada siswa dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membantu dan saling mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta mampu membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif memungkinkan semua siswa dapat menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama atau sejajar. Garry Hornby. (2009) Kebanyakan penelitian telah menyatakankan bahwa Cooperative Learning merupakan metode yang efektif untuk meningkatkan prestasi belajar siswa untuk segala usia. Disarankan bahwa unsur-unsur kunci dari Cooperative Learning adalah akuntabilitas individu dan saling ketergantungan yang positif. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa hasil belajar akademik lebih baik pada kelompok eksperimen, di mana akuntabilitas individu dan saling ketergantungan yang positif terstruktur dalam kegiatan.
               Ada 4 macam model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh Arends (2001), yaitu; (1) Student Teams Achievement Division (STAD), (2) Group Investigation, (3) Jigsaw, dan (4) Structural Approach. Sedangkan dua pendekatan lain yang dirancang untuk kelas-kelas rendah adalah; (1) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) digunakan pada pembelajaran membaca dan menulis pada tingkatan 2-8 (setingkat TK sampai SD), dan Team Accelerated Instruction (TAI) digunakan pada pembelajaran matematika untuk tingkat 3-6 (setingkat TK).
           Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah; (1) belajar bersama dengan teman, (2) selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, (3) saling mendengarkan pendapat di antara anggota kelompok, (4) belajar dari teman sendiri dalam kelompok, (5) belajar dalam kelompok kecil, (6) produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat, (7) keputusan tergantung pada siswa sendiri, (8) siswa aktif (Stahl, 1994). Senada dengan ciri-ciri tersebut, Johnson dan Johnson (1984) serta Hilke (1990) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah; (1) terdapat saling ketergantungan yang positif 2 di antar anggota kelompok, (2) dapat dipertanggungjawabkan secara individu, (3) heterogen, (4) berbagi kepemimpinan, (5) berbagi tanggung jawab, (6) menekankan pada tugas dan kebersamaan, (7) membentuk keterampilan sosial, (8) peran guru mengamati proses belajar siswa, (9) efektivitas belajar tergantung pada kelompok. Proses belajar terjadi dalam kelompok-kelompok kecil (3-4 orang anggota), bersifat heterogen tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan akademik, jender, suku, maupun lainnya. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan berpijak pada beberapa pendekatan yang diasumsikan mampu meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pendekatan yang dimaksud adalah belajar aktif, konstruktivistik, dan kooperatif. Beberapa pendekatan tersebut diintegrasikan dimaksudkan untuk menghasilkan suatu model pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Belajar aktif, ditunjukkan dengan adanya keterlibatan intelektual dan emosional yang tinggi dalam proses belajar, tidak sekedar aktifitas fisik semata. Siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi, mengemukakan pendapat dan idenya, melakukan eksplorasi terhadap materi yang sedang dipelajari serta menafsirkan hasilnya secara bersama-sama di dalam kelompok. Siswa dibebaskan untuk mencari berbagai sumber belajar yang relevan. (Junko Shimazoe and Howard Aldrich. 2010) Dalam Pembelajaran Kooperatif, pengajaran berfokus pada mengkoordinasikan, merangsang dan mendorong interaksi antara siswa dengan harapan siswa belajar dari kegiatan-kegiatan dan interaksi dengan teman-temannya.
             Noorchaya Yahya and Kathleen Huie (2002) dalam merencanakan pembelajaran kooperatif, guru memegang beberapa peran. Pertama membuat rencana pra-pembelajaran tentang pengelompokan siswa dan pemberian tugas yang sesuai. Guru harus dapat menjelaskan tugas akademis dan struktur kooperatif kepada siswa dan kemudian harus memonitor dan turun tangan bila perlu. Akhirnya, guru juga harus bertanggungjawab mengevaluasi pembelajaran siswa dan keefektifan kerja masing-masing kelompok. Lebih lanjut Gillies, Robyn M.,  Boyle, Michael (2010) Cooperatif Learning (CL) adalah praktik pedagogis yang terdokumentasikan dengan baik untuk meningkatkan prestasi akademik dan sekaligus proses sosialisasi, dan banyak guru berusaha menerapkan dalam kelas mereka. Data dari wawancara menunjukkan bahwa para guru memiliki pengalaman positif dengan CL, meski beberapa  menemui kesulitan-kesulitan dalam menerapkannya di dalam kelas. Masalah-masalah yang teridentifikasi diantaranya sosialisasi siswa selama kegiatan kelompok dan tidak bekerja, mengelola waktu secara efektif, dan persiapan yang diperlukan. Masalah lain yang diidentifikasi dalam CL adalah pentingnya keberhasilan kerja kelompok, termasuk di dalamnya komposisi kelompok, tugas yang harus dilaksanakan, latihan ketrampilan sosial yang diperlukan, dan penilaian atas kelompok.
           Kegiatan demikian memungkinkan siswa berinteraksi aktif dengan lingkungan dan kelompoknya, sebagai media untuk mengembangkan pengetahuannya. Pendekatan konstruktivistik dalam model pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa untuk mampu membangun pengetahuannya secara bersama-sama di dalam kelompok. Mereka didorong untuk menemukan dan mengkonstruksi materi yang sedang dipelajari melalui diskusi, observasi atau percobaan. Siswa menafsirkan bersama-sama apa yang mereka temukan atau mereka bahas. Dengan cara demikian, materi pelajaran dapat dibangun bersama dan bukan sebagai transfer dari guru. Pengetahuan dibentuk bersama berdasarkan pengalaman serta interaksinya dengan lingkungan di dalam kelompok belajar, sehingga terjadi saling memperkaya diantara anggota kelompok. Ini berarti, siswa didorong untuk membangun makna dari pengalamannya, sehingga 3 pemahaman terhadap fenomena yang sedang dipelajari meningkat. Mereka didorong untuk memunculkan berbagai sudut pandang terhadap materi atau masalah yang sama, untuk kemudian membangun sudut pandang atau mengkonstruksi pengetahuannya secara bersama pula. Hal ini merupakan realisasi dari hakikat konstruktivisme dalam pembelajaran. Pendekatan kooperatif mendorong dan memberi kesempatan kepada siswa untuk terampil berkomunikasi. Artinya, siswa didorong untuk mampu menyatakan pendapat atau idenya dengan jelas, mendengarkan orang lain dan menanggapinya dengan tepat, meminta feedback serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan baik. Siswa juga mampu membangun dan menjaga kepercayaan, terbuka untuk menerima dan memberi pendapat serta ide-idenya, mau berbagi informasi dan sumber, mau memberi dukungan pada orang lain dengan tulus. Siswa juga mampu memimpin dan terampil mengelola kontroversi (managing controvercy) menjadi situasi problem solving, mengkritisi ide bukan personal orangnya. Model pembelajaran kooperatif ini akan dapat terlaksana dengan baik jika dapat ditumbuhkan suasana belajar yang memungkinkan diantara siswa serta antara siswa dan guru merasa bebas mengeluarkan pendapat dan idenya, serta bebas dalam mengkaji serta mengeksplorasi topik-topik penting dalam kurikulum. Guru dapat mengajukan berbagai pertanyaan atau permasalahan yang harus dipecahkan di dalam kelompok. Siswa berupaya untuk berpikir keras dan saling mendiskusikan di dalam kelompok. Kemudian guru serta siswa lain dapat mengejar pendapat mereka tentang ide-idenya dari berbagai perspektif. Guru juga mendorong siswa untuk mampu mendemonstrasikan pemahamannya tentang pokok-pokok permasalahan yang dikaji menurut cara kelompok. Berpijak pada karakteristik pembelajaran di atas, diasumsikan model pembelajaran kooperatif mampu memotivasi siswa dalam melaksanakan berbagai kegiatan, sehingga mereka merasa tertantang untuk menyelesaikan tugas-tugas bersama secara kreatif. Model pembelajaran ini dapat diterapkan dalam pembelajaran di berbagai bidang, baik untuk topik-topik yang bersifat abstrak maupun yang bersifat konkrit. Kompetensi yang dapat dicapai melalui model pembelajaran kooperatif disamping; (1) pemahaman terhadap nilai, konsep atau masalah-masalah yang berhubungan dengan disiplin ilmu tertentu, serta (2) kemampuan menerapkan konsep/memecahkan masalah, dan (3) kemampuan menghasilkan sesuatu secara bersama-sama berdasarkan pemahaman terhadap materi yang menjadi obyek kajiannya, juga dapat dikembangkan (4) softskills kemampuan berfikir kritis, berkomunikasi, bertanggung jawab, serta bekerja sama. Tentu saja kemampuan-kemampuan tersebut hanya mungkin terbentuk jika kesempatan untuk menghayati berbagai kemampuan tersebut disediakan secara memadai, dalam arti, model pembelajaran kooperatif diterapkan secara benar dan memadai. Materi yang sesuai disajikan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif adalah materi-materi yang menuntut pemahaman tinggi terhadap nilai, konsep, atau prinsip.(Amir Mahmud, 2011)

A.          Pembelajaran Kooperatif tipe STAD

        STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan-kawannya di Universitas John Hopskin, merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang sederhana, sehingga tipe ini dapat digunakan oleh guru-guru yang baru memulai menggunakan metode pembelajaran kooperatif. Penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Slavin (1995), STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu presentasi kelas, kelompok, kuis (tes), skor peningkatan individual dan penghargaan kelompok. Uraian selengkapnya dari masing-masing komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Presentasi Kelas.
      Materi dalam STAD disampaikan pada presentasi kelas. Presentasi kelas ini biasanya menggunakan pengajaran langsung (direct instuction) atau ceramah dilakukan oleh guru. Presentasi kelas dapat pula menggunakan audio visual. Presentasi kelas ini meliputi tiga komponen, yaitu pendahuluan, pengembangan, dan praktek terkendali.
2.   Kelompok.
Kelompok terbentuk yang terdiri dari empat atau lima siswa dengan memperhatikan perbedaan, jenis kelamin, dan ras atau etnis. Fungsi utama kelompok adalah memastikan bahwa semua anggota kelompok terlibat dalam kegiatan belajar, dan lebih khusus adalah mempersiapkan anggota kelompok agar dapat menjawab kuis (tes) dengan baik. Termasuk belajar dalam kelompok adalah mendiskusikan masalah, membandingkan jawaban dan meluruskan jika ada anggota kelompok yang mengalami kesalahan konsep.
3.  Kuis (tes).
 Setelah beberapa periode presentasi kelas dan kerja kelompok, siswa diberi kuis individual. Siswa tidak diperkenankan saling membantu pada saat kuis berlangsung.
4.      Skor Peningkatan Individual.
Penilaian kelompok berdasarkan skor peningkatan individu, sedangkan skor peningkatan tidak didasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor sebelumnya. Setiap siswa dapat memberikan kontribusi poin  maksimum pada kelompoknya dalam sistem skor kelompok. Siswa memperoleh skor untuk kelompoknya didasarkan pada skor kuis mereka melampaui skor dasar mereka.
5.      Penghargaan kelompok.
Kelompok dapat memperoleh sertifikat atau hadiah jika rata-rata skornya melampaui kriteria tertentu.
Mengacu pada kutipan di atas, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan kooperatif tipe STAD pada penelitian ini dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut:


Langkah 1: Persiapan
a)      Materi. Pembelajaran tipe STAD digunakan untuk menyajikan materi yang telah dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara kelompok.
b)      Pembagian kelompok-kelompok kooperatif. Kelompok-kelompok dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan kelompok yang heterogen beranggotakan 4 siswa atau 5 siswa, dengan kemampuan pandai, sedang, dan rendah di dalam kelas tersebut dengan mempertimbangkan homogenitas  yang lain seperti jenis kelamin, latar belakang sosial dan lain-lain.
c)      Menentukan Skor Awal. Skor awal adalah skor yang diambil dari skor pre tes yang sesuai dengan materi yang diajarkan pada saat itu (tidak seluruh skor pre tes).
d)     Kerja Sama Kelompok. Sebelum pembelajaran STAD dimulai, terlebih dahulu diawali dengan latihan kerja sama kelompok yang diberi arahan langsung oleh guru. Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran cara kerja kelompok yang baik, disamping itu bertujuan memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk saling mengenal masing-masing anggota kelompoknya.
Langkah 2: Penyajian Materi
       Penyajian materi dalam kegiatan pembelajaran kooperatif terdiri dari tiga kegiatan, yaitu:
1)      Pendahuluan
Dalam pendahuluan ditekankan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok, serta tujuan yang akan dicapai.
2)      Pengembangan
   a) Menentukan indikator yang ingin dicapai siswa.
   b)Pembelajaran kooperatif menekankan bahwa belajar adalah memahami makna.
   c)Mengecek pemahaman siswa sesering mungkin dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan.
   d) Memberikan penjelasan mengapa jawaban benar atau salah.
3)      Praktek terkendali
Praktek terkendali dalam menyajikan materi dilakukan dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a)Menugaskan siswa mengerjakan soal-soal atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan.
b)Memanggil siswa secara acak untuk menyelesaikan soal-soal atau menjawab pertanyaan yang diberikan.
c)Menugaskan siswa menyelesaikan soal-soal yang diperkirakan tidak terlalu menyita waktu dalam menyelesaikannya.
Langkah 3: Belajar Dalam Kelompok
      Selama kegiatan kelompok, guru bertindak sebagai fasilitator yang memonitor setiap kegiatan kelompok. Untuk kerja kelompok diberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada setiap kelompok sebagai bahan yang akan dipelajari oleh siswa, di samping itu LKS juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk melatih keterampilan kooperatif siswa.
Dalam menyelesaikan tugas kelompok, siswa mengerjakan secara mandiri atau berpasangan dan selanjutnya mencocokkan jawabannya atau memeriksa ketepatan jawabannya dengan jawaban teman sekelompoknya. Jika ada anggota yang belum memahami, maka teman sekelompoknya bertanggungjawab untuk menjelaskan, sebelum meminta bantuan kepada guru.
Langkah 4: Kuis (Tes)
      Kuis diberikan pada setiap akhir kegiatan pembelajaran, dan kuis ini dikerjakan secara individual. Hasil kuis digunakan untuk menghitung skor perkembangan individu dan penghargaan kelompok.
Langkah 5: Penghargaan Kelompok
Penghargaan kelompok dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
6.      Menghitung skor perkembangan individu dan skor kelompok.
      Skor perkembangan individu dihitung berdasarkan rentang skor yang diperoleh setiap individu dari kuis dengan skor awal. Skor perkembangan individu ini disumbangkan kepada kelompoknya. Sedangkan skor kelompok diperoleh dari rata-rata nilai perkembangan individu yang disumbangkan pada kelompok. Adapun perhitungan skor perkembangan, dan kriteria penghargaan kelompok menggunakan acuan sebagai berikut:
Tabel 1. Perhitungan  Skor Perkembangan Individu
No
Skor tes
Nilai perkembangan
1.
2.
3.
4.
5.
Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar
1 poin hingga 10 poin di bawah dasar
Skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar
Lebih dari 10 poin di atas skor dasar
Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor dasar)
5
10
20
30
30

7.      Menghargai prestasi kelompok
      Ada tiga tingkat penghargaan  yang dapat diberikan terhadap prestasi kelompok. Penghargaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Kriteria Tingkat Penghargaan Kelompok
Kriteria
Skor rata-rata Kelompok
Penghargaan
Kelompok
5   <  ≤ 15
15 <   ≤ 25
25 <   ≤ 30
Baik
Hebat
Super
 adalah skor rata-rata kelompok yang diperoleh dari rata-rata nilai perkembangan individu yang disumbangkan dalam satu kelompok.
Lima langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat dirangkum pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
Langkah-langkah
Kegiatan Guru
Langkah 1
Persiapan
Guru mempersiapkan: materi, pembagian kelompok-kelompok kooperatif (terdiri dari 4-5 anggota) yang heterogen, skor awal dan aturan kerja sama kelompok
Langkah 2
Menyajikan materi
Guru menyajikan materi dalam tiga kegiatan: 1. pendahuluan (informasi tujuan yang ingin dicapai siswa dan memotivasi belajar siswa), 2. pengembangan, dan 3. praktek terkendali
Langkah 3
Guru bertindak sebagai fasilitator dan memonitor kerja kelompok, guru akan memberikan bantuan jika dibutuhkan. Kerja kelompok (diskusi) berdasarkan Lembar Kerja Siswa (LKS). Kemudian masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Langkah 4
Kuis
Memberi kuis untuk dikerjakan secara individu.

Langkah 5
Penghargaan Kelompok

Penghargaan kelompok diberikan pada setiap pertemuan dan perhitungannya melalui dua tahap yaitu:
a.Menghitung skor perkembangan individu, dan
b.Menghitung skor rata-rata kelompok
    (Amir Mahmud, 2011)

B.     Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw.
            Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah tipe kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam suatu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar maupun mampu mengajarkan bagian tesebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arend R I,1997:73)
            Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menggabungkan konsep pembelajaran pada teman sekelompok dalam usaha membantu belajar dengan pembelajarannya sendiri, untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pada diri sendiri dan pembelajaran pada orang lain.
                  Dalam pembelajaran kooperatif jigsaw, siswa belajar dalam kelompok heterogen yang beranggota 4 sampai 6 orang yang disebut kelompok asal. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar yang ditugaskan kepadanya, kemudian mengajarkan bagian tersebut kepada anggota kelompok lain. Masing-masing anggota kelompok yang diperoleh dari menawarkan bagian materi itu disebut ahli. Keahlian tersebut dapat diperoleh dari menawarkan bagian materi kepada anggota kelompok menurut kemampuan mereka, atau ditunjuk oleh guru sesuai dengan kemampuan mereka. Anggota dari kelompok yang berbeda dengan topik yang sama (ahli) bertemu untuk berdiskusi antar ahli. Mereka dapat saling membantu satu sama lain tentang topik yang ditugaskan, serta mendiskusikannya. Setelah itu siswa pada kelompok ahli kembali pada kelompok masing-masing untuk menjelaskan materi tersebut kepada anggota kelompok lainnya tentang apa yang dibahas dalam kelompok ahli. Setiap kelompok menyajikan hasil pekerjaan kelompoknya, kemudian bersama-sama merumuskan konsep atau kesimpulan. Setelah semua proses pembelajaran dilaksanakan beberapa kali, diadakan tes dan dikerjakan sendiri oleh masing-masing siswa.
            Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman–teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasikan oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends,2001). Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends,1997).
            Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampakan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends,1997). Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian , “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie A;1994)
            Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali kepada tim/kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli. Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw,terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli , yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal (Arends,2001). Hubungan kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut:

                                                    Kelompok Asal



A        B

C        D
A      B

C      D
A      B

C      D
A        B

C        D
 


A     A

A     A

B     B

B     B
D      D

D      D
C      C

C      C
 


                                                                                                                                

                      Kelompok Ahli



            Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan dikelompok ahli. Jigsaw didesain selain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa secara mandiri juga dituntut saling ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Selanjutnya diakhir pembelajaran siswa diberi kuis secara individu yang mencakup topik materi yang telah dibahas. Kunci tipe jigsaw ini adalah interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan kuis dengan baik.
                                    Untuk pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, disusun langkah-langkah pokok sebagai berikut: (1)pembagian tugas,(2)pemberian lembar ahli,(3)mengadakan diskusi,(4)mengadakan kuis. Adapun rencana pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini diatur secara instruksional sebagai berikut (Slavin,1995):
a.Membaca: siswa memperoleh topik-topik ahli dan membaca materi tersebut
   untuk mendapatkan informasi.
b.Diskusi kelompok ahli: Siswa dengan topik-topik ahli yang sama bertemu
   untuk mendiskusikan topik tersebut.
c.Diskusi kelompok: ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan topic
   pada kelompoknya.
d.Kuis: siswa memperoleh kuis individu yang mencakup semua topik.
e.Penghargaan kelompok: penghitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok. Setelah kuis dilakukan, maka dilakukan perhitungan skor perkembangan individu dan skor kelompok. Skor individu setiap   kelompok memberi sumbangan pada skor kelompok berdasarkan rentang skor yang diperoleh pada kuis sebelumnya dengan skor terakhir.(Amir Mahmud, 2011)

C. Model Pembelajaran  Investigasi  Kelompok  (Group  lnvestigation)

        Model  pembelajaran  kelompok  investigasi (Group  lvestigation) adalah  suatu model pembelajaran  yang memberikan  kemungkinan  siswa untuk mengembangkan  pemahaman  siswa  melalui berbagai  kegiatan  dan hasil  belajar  sesuai  pengembangan  yang  dilalui siswa.
Menurut  kamus besar Bahasa Indonesia  (1989:3.37)  kata  investigasi mempunyai makna: penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta-fakta; melakukan  peninjauan,  percobaan,  dsb dengan  tujuan memperoleh jawaban  atas  pertanyaan-pertanyaan. Dalam  investigasi  ini siswa  dituntut  untuk  lebih  aktif dalam  mengembangkan sikap dan pengetahuaanya  tentang  materi pelajaran yang disesuaikan  dengan  kemampuan masing-masing,  sehingga  memberikan  hasil belajar  yang lebih bermakna pada  siswa.
        Menurut Jimko Shimazoe and Howard Aldrich University of North Carolina at Chapel Hell dalam Jurnal Internasional yang berjudul ”Group Work Can be Gratifying : Undestandy is ourcoming Resistance to Cooperative Learning mengatakan bahwa : tahap perencanaan dan perkembangan dimulai saat sebuah kelompok membentuk dan memulai mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan untuk bekerja dalam kelompok dengan mengembangkan aturan, kebijakan, dan strategi untuk bekerjasama ( Hare & O’Neill 200; Cokleyet al 2004 ). Sebagai tambahan untuk aspek dalam operasi dan proses kelompok ini, siswa harus membangun aspek-aspek normatif pekerjaan mereka yang akan bertahan sepanjang hidup mereka. Mereka harus mengembangkan kepercayaan, kepercayaan diri, dan ketergantungan antara anggota kelompok ( uan den Bossche al 2006 )
       Dalam  prakteknya  model  pembelajaran GI tidak  bisa  lepas  dari  belajar kelompok.  Menurut  Oemar  Hamalik  (2000:152),  belajar  kelompok dilaksanakan  dalam  suatu  proses  kelompok.  Para  anggota  kelompok  saling berhubungan  dan berpartisipasi,  memberikan  sumbangan  untuk mencapai tujuan bersama. Belajar kelompok efektif, jika  memiliki  unsur-unsur:  l)  adanya bermacam-macam  kebutuhan  para anggotanya  yang dinyatakan dalam  bentuk  permasalahan,  2) para  anggota  memiliki permasalahan  yang dipahami bersama, 3)  kelompok memiliki  tujuan  yang  ingin  dicapai, sekaligus  menjadi tujuan anggota,  4)  tiap  individu  bertanggung  jawab memberikan  sumbangan  dalam mencapai  tujuan kelompok,  dan  5)  di dalamnya terjadi  proses pembelajaran  antar anggota. Pelaksanaan belajar  kelompok  dalam  kelas  dilakukan berdasarkan  prinsip-prinsip sebagai  berikut:  1) belajar kelompok berangkat dari  tujuan,  rencana  dan masalah  tertentu. Guru membimbing kelompok untuk mencapai  tujuan-tujuan yang  telah dirumuskan dan memperdalam masalah-masalah  yang  telah  direncanakan.  2)  belajar kelompok dimulai dengan menghimpun sumbangan  pikiran  para  anggota  kelompok.  Tiap anggota menyadari  bahwa  dirinya  mengemban peran  penting  dalam membuat dan melaksanakan  keputusan yang  ingin  dicapai. Peran guru melakukan  pendekatan terhadap  kelompok  dengan  cara  menghimpun gagasan dan  pendapat, kemudian merencanakan  tugas  bagi  kelompok kemudian  membimbingnya,  3) belajar  kelompok  menyediakan  kesempatan secara  luas  kepada anggota kelompok  untuk  berpartisipasi  aktif  dalam proses  pembelajaran, 4)  belajar  kelompok  hendaknya memberikan penghargaan  kepada  anggota  kelompok.  Belajar  kelompok  tersebut  berhasil bila  memberikan kepuasan,  kesenangan,  pengakuan,  rasa  aman  dan penghargaan  baik bagi kelompok maupun  bagi  individu dalam  kelompok.
        Menurut Erik De Corte dalam journal for research in Mathematics education yang berjudul ” The Effect of Semantic Structure on First Grader’s Strategies for Solving addition and subtraction word problems” menyimpulkan bahwa : diskusi memfokuskan pada pengaruh struktur masalah terhadap strategi anak-anak dalam mencari solusi. Bagaimanapun juga, supaya lebih jelas, kami lebih dulu merangkum penemuan-penemuan mengenai aspek-aspek lain dalam perilaku anak saat mencari solusi, yaitu : perkembangan performa anak dan perkembangan tingkat internalisasi strategi untuk mencari solusi selama tahun pelajaran.
        Belajar kelompok  merupakan  kebutuhan  sosial  siswa.  Pemenuhan  keinginan  untuk saling  bergaul  sesama  siswa  dan  guru  serta  orang  lain, merupakan  salah  satu upaya  untuk memenuhi  kebutuhan  sosial  anak didik dalam  hal  ini  siswa. Guru  harus  dapat  menciptakan  suasana  kerja  sama  antar  siswa dengan suatu harapan  dapat  melahirkan  suatu  pengalaman  belajar  yang  lebih baik.
         Dalam menggunakan  model pembelajaran  Group lvestigation  (GI) umumnya  kelas dibagi menjadi beberapa kelompok  yang beranggotakan  2 sampai  6 siswa dengan  karakteristik yang heterogen.  Pembagian  kelompok juga  dapat didasarkan atas kesenangan  berteman atau kesamaan minat terhadap  suatu  topik  tertentu. Para siswa  telah dipilihkan  topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi  mendalam  terhadap  berbagai  subtopik  yang telah dipilih,  kemudian  menyiapkan  dan menyajikan  suatu  laporan  di depan kelas  secara  keseluruhan.
       Dari  beberapa  pendapat di  atas dapat disimpulkan,  bahwa model pernbelajaran  investigasi  kelompok merupakan  model pembelajaran  yang dilakukan dengan adanya  relasi (saling berhubungan),  interaksi (saling mempengaruhi),  partisipasi,  kontribusi  (saling  memberikan  sumbang  saran), dan mengandung  unsur-unsur  kebutuhan,  masalah  dan  pertukaran  pendapat yang  dilakukan  berdasarkan masalah, menghimpun  sumbang  saran, pembagian  tugas,  dan mengambil  keputusan  dengan  langkah-langkah:  1) seleksi  topik, 2) merencanakan  kerjasama,  3) implementasi,  4) analisis  dan sintesis,  5) penyajian  hasil  akhir,  dan  6) evaluasi.(Makhrus, 2011)

D.                Cooperative Learning tipe Think-Pair-Share

  Cooperative Learning berasal dan bahasa inggris yaitu cooperate yang berarti bekerja sama, dan learn yang berarti belajar. Jadi, secara bahasa cooperative learning dapat diartikan belajar dengan cara bekerja sama. Lebih jauh lagi,Slavin (dalam Etin.s dan Raharjo, 2007:4) mengatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok- kelompok kecil yang anggotanya terdiri dari 2-6 orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Akan tetapi tidak semua kerja kelompok dapat disebut cooperative 1earning. Roger dan David Johnson (dalam Anita lie 2002:30) menyebutkan ada 5 unsur utama dalam cooperative Learning yaitu: (I) saling ketergantungan positif; (2) tanggung jawab perseorangan; (3) tatap muka; (4) komunikasi antara anggota kelompok; (5) evaluasi proses kelompok.
     Cooperative learning tipe Think - Pair - Share dikembangkan oleh Spencer kagan (1991) dan memiliki prosedur yang terstruktur secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. Bahkan Anita lie (2002:56) mengatakan bahwa metode ini mampu memberi kesempatan paling sedikit delapan kali lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukan partisipasi kepada orang lain. Sedangkan menurut Arif Sidartha (2004:20-21) prosedur pelaksanaan Cooperative Learning tipe Think-Pair-Share adalah sebagai berikut:
1)      Thinking (berpikir)
   Guru mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara mandiri dalam beberapa saat.
2)      Pairing ( berpasangan)
Guru meminta berpasangan dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkan. Dalam interaksi ini siswa diharapkan untuk dapat berbagi jawaban dengan pasangan atau kolompoknya dan saling mengisi serta melengkapi sehingga didapat suatu jawaban atau hasil dan pemikiran kelompok
3)      Sharing (berbagi)
Ditahap yang terakhir ini guru meminta pasangan-pasangan atau kelompok-kelompok untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang hal atau ide yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai sekitar ¼ dari jumlah pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
4)    Kekurangan dan Kelebihan
Adapun kekurangan dan kelebihan metode ini adalah:
a)      Kelebihan
1.      Kelompok dengan kemampuan yang heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan mendukung.
2.      Mempermudah pengelolaan kelas, karena dengan adanya 1 anak yang pandai dalam kelompok, berarti guru mendapat seorang asisten dalam mengajar.
3.      Lebih banyak tugas yang bisa diberikan
4.      Guru mudah memonitor kontribusi siswa dalam kelompoknya.
b).  Kekurangan
1. Membutuhkan lebih banyak waktu.
2. Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik.
3. Siswa mudah melepaskan diri dalam berkelompok dan tidak
    memperhatikan.(Tri Sardjoko, 2007)

E.  Numbered Heads Together

                  Pembelajaran dengan menggunakan model Numbered Heads Together diawali dengan Numbering. Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil. Jumlalah kelompok sebaiknya mempertimbangkan jumlah konsep yang dipelajari. Jika jumlah peserta didik dalam satu kelas terdiri dari 40 siswa dan terbagi menjadi 5 kelompok berdasarkan jumlah konsep yang dipelajari, maka tiap kelompok terdiri 8 siswa. Tiap-tiap siswa dalam tiap-tiap kelompok diberi nomor 1-8.
Setelah kelompok terbentuk guru mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh tiap-tiap kelompok. Berikan kesempatan kepada tiap-tiap kelompok menemukan jawaban. Pada kesempatan ini tiap-tiap kelompok menyatukan kepalanya ”Heads Together” berdiskusi memikirkan jawaban atas pertanyaan dari guru.
Langkah berikutnya adalah guru memanggil peserta didik yang memiliki nomor yang sama dari tiap-tiap kelompok. Mereka diberi kesempatan memberi jawaban atas pertanyaan yang telah diterimanya dari guru. Hal itu dilakukan terus hingga semua peserta didik dengan nomor yang sama dari masing-masing kelompok mendapat giliran memaparkan jawaban atas pertanyaan guru. Berdasarkan jawaban-jawaban itu guru dapat mengembangkan diskusi lebih mendalam, sehingga peserta didik dapat menemukan jawaban pertanyaan itu sebagai pengetahuan yang utuh.

F.  Two Stay Two Stray(TSTS)

                 Model pembelajaran kooperatif TSTS memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1. Siswa bekerjasama dalam kelompok yang terdiri dari empat anggota.
Langkah 2. Setelah selesai dua orang dari masing-masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu ke dua kelompok yang lain.
Langkah 3. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka kepada tamu mereka dari kelompok lain.
Langkah 4. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.
Langkah 5. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka.
         Model Two Stay Two Stray atau metode dua tinggal dua tamu. Pembelajaran dengan metode ini diawali dengan pembagian kelompok. Setelah kelompok terbentuk guru memberikan tugas berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan jawabannya.
Setelah diskusi intrakelompok usai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu kepada kelompok yang lain. Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas sebagai duta (tamu) mempunyai kewajiban menerima tamu dari suatu kelompok. Tugas mereka adalah menyajikan hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Dua orang yang bertugas sebagai tamu diwajibkan bertamu kepada semua kelompok. Jika mereka telah usai menunaikan tugasnya, mereka kembali ke kelompoknya masing-masing.
Setelah kembali ke kelompok asal, baik peserta didik yang bertugas bertamu maupun mereka yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas hasil kerja yang telah mereka tunaikan.(Agus Suprijono, 2007 )

G.    TEAMS GROUP TOURNAMENT (TGT)

Pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif, dengan menempatkan siswa dalam kelompok belajar yang beranggotakan 4-5 orang yang heterogen menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku. Secara umum pembelajaran kooperatif tipe TGT sama saja dengan STAD kecuali satu hal: TGT menggunakan turnamen akademik dan menggunakan kuis-kuis dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan tim lain yang kinerja akademk sebelumnya setara dengan mereka.
1.      Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Game tersebut dimainkan di atas meja dengan beberapa orang siswa, yang masing-masing mewakili tim yang berbeda. Game biasanya hanya berupa nomor-nomor pertanyaan yang ditulis pada lembar yang sama. Seorang siswa mengambil sebuah kartu bernomor dan harus menjawab pertanyaan sesuai nomor yang tertera pada kartu tersebut.
2.      Turnamen
Turnamen adalah sebuah struktur dimana game berlangsung. Biasanya berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit, setelah guru memberikan presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan kerja kelompok terhadap lembar kegiatan. Pada turnamen pertama guru menunjuk siswa untuk berada di meja turnamen. Tiga siswa berprestasi tinggi sebelumnya pada meja 1, tiga berikutnya pada meja 2 dan seterusnya. Kompetisi yang seimbang ini, seperti halnya system skor kemajuan individu dalam STAD, memungkinkan para siswa dari semua tingkat sebelumnya berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka jika mereka melakukan yang terbaik. Setelah turnamen pertama, para siswa akan bertukar meja tergantung kinerja mereka pada turnamen terahkir. Pemenang pada tiap meja “naik tingkat” ke meja berikutnya yang lebih tinggi (misalnya dari meja 5 ke meja 4). Skor tertinggi kedua tetap tinggal pada meja yang sama, dan skor yang paling rendah “diturunkan”. Dengan cara ini, jika pada awalnya siswa sudah salah ditempatkan, untuk seterusnya akan dinaikkan atau diturunkan sampai mereka mencapai tingkat kemampuan mereka yang sesungguhnya.   

VII. PENUTUP
       Mudah-mudahan makalah sederhana ini bermanfaat adanya.

REFERENSI:
Agus Suprijono, 2009. Cooperatif Learning (Teori dan Aplikasi PAIKEM). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Amir Mahmud, 2011. Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dan Jigsaw pada Pokok Bahasan Bentuk Aljabar Ditinjau dari Perhatian Orang Tua Siswa Kelas VII SMP NEGERI di Kabupaten Cilacap Tahun Pelajaran 2010/2011. Surakarta: Tesis Program Pascasarjana UNS

Arends R I, 1997. Classroom Instruction and Management. Central Conecticut State University:the Mc Graw-Hill Companies Co.

Makhrus, 2011. Eksperimentasi Pembelajaran Group Investigation(GI) dan Jigsaw Pada Pokok Bahasan Persamaan dan Fungsi Kuadrat Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa. Surakarta: Tesis Program Pascasarjana UNS.

Martiningsih, 2007. Macam-macam Metode Mengajar . http://www.martiningsihonline.wordpress.com. Diakses 17 September 2009.

Martinis Yamin, 2008. Paradigma Pendidikan Konstruktivistik. Jakarta: Gaung Persada Press

Masnur Muslich, 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Oemar Hamalik, 1990. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Pasaribu I L dan B Simanjuntak, 1980. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito

Poerwadarminta, 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Slavin, 1994. Educational Psychology, Theory and Practice. Fourth Edition. Measachusset: Allyn and Bacon Publisher.

Slavin, 2005. Cooperative Learning:theory research and practice. London: Allyn and Bacon.

Tri Sardjoko, 2007. Upaya Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Standar Kompetensi Pangkat Rasional, Bentuk Akar dan Logaritma dengan Penerapan Cooperatif Learning Tipe Think Pair Share pada Siswa Kelas X-D SMA Negeri 2 Ngawi Tahun Pelajaran 2007-2008.(Laporan PTK)